Sunday, February 17, 2013

Life Must Go On


Ada teman sesama pejalan yang bilang: "traveling itu gak kudu ke tempat yang indah, berkunjung ke tempat kumuh pun bisa di sebut traveling." Pernah dengar atau pernah datang ke Wisata Pemukiman Kumuh di Jakarta? Nah itulah contohnya, wisata yang gak melulu indah! Ada juga wisata pasar. nah yang ini saya suka. hehe!

Baru-baru ini saya sering ikut Ibu saya ke pasar. Bukan pasar swalayan atau moll, tapi pasar tradisional yang becyek itu tuh. Menyadari usia saya yang sudah tidak muda lagi, sebenarnya saya (sempet) malu ketika menemani Sang Ibu berbelanja ke pasar.  

Satu-satunya alasan saya pergi ke pasar dengan umur yang sudah se-tuwir ini adalah "nostalgia". Berdesak-desakan dengan pengunjung lain serta melihat Ibu saya gontok-gontokan menawar barang belanjaan adalah segelintir atmosfir yang saya kangenin. heheh!

Dulu terakhir kali saya menemani Ibu ke pasar adalah ketika saya masih kelas 6 SD. Yang paling saya inget - Waktu itu lagi bulan puasa dan saya terpaksa "mokel" alias batalin puasa karena tak tahan melihat orang jualan es campur. Nikmat sekali deh rasanya. Kenikmatan yang menyesatkan! :D

Kini saya seakan memasuki mesin waktu. Berbelanja ke pasar bareng Sang Ibu tercinta di pasar yang sama. So sweet yah? :)

Tak banyak berubah dengan pasar ini. Lapak-lapak, barang-barang dagangan, tikus-tikus gemuk yang masih sering mejeng tebar pesona serta bau-bau dan "aroma endemik" pasar tradisional semuanya masih sama. Tapi ada satu yang berubah. Kondisi pasar yang gaduh penuh dengan pengunjung yang bejubel sudah tidak saya lihat lagi. Ke-"hening"-an ini sudah bisa saya lihat ketika baru saja memarkir motor saya di area parkir yang juga sepi mampring, beda dengan dulu ketika pengunjung bisa saling desak-desakan ketika parkir.

Kontras sekali. Nah, kemana semua orang? Tak perlu berpikir lama semua orang pasti sudah tahu jawabannya. Ya. Semua orang sudah beralih ke pasar-pasar modern alias Mall dan swalayan yang menawarkan tempat berbelanja yang lebih nyaman, bersih dan (tentu saja) modern. Kalo dulu tiap hari minggu saya masih bisa melihat dua sejoli bermesra-mesraan sambil belanja di pasar tradisional, sekarang kayaknya sudah punah tuh.
Selain itu kebanyakan orang juga tak mau lagi ambil pusing untuk melakukan ritual tawar-menawar - khas pasar tradisional - yang (konon) lumayan menyita waktu. It seems that everybody is being busy nowadays!

Antara manis dan miris. Manis karena banyak yang beralih ke pasar modern dan lebih higienis. Tapi juga miris melihat deru ronta para pedagang di pasar tradisional yang mau tak mau harus kehilangan pangsanya.

"Aduh, Bu. kalau ada satu pembeli saja saya sudah seneng setengah mati." Ucap salah satu Ibu penjual celana kepada Ibu saya.  "Sering sekali sudah berhari-hari menunggu tapi gak ada satu pun pembeli yang mampir. Makanya banyak lapak yang sudah tutup karena gak ada pembeli." Keluhnya.  "Ibu bisa lihat sendiri kan, kondisinya seperti ini? Sepi kaya kuburan." Lanjut Si Ibu dengan nada yang semakin merendah.
 
Saya jadi ingat, dulu selalu ada perumpamaan setiap ada situasi yang ramai pasti di samakan dengan pasar. Seperti ketika guru SD saya memarahi saya dan teman-teman satu kelas ketika sedang membuat gaduh dengan kalimat "Duh, ini kelas apa pasar, ya? kok rame sekali!". Tapi tampaknya ungkapan itu tak berlaku lagi sekarang.

Si Ibu penjual juga berkeluh bahwa dulu dengan berjualan baju dan celana di pasar saja sudah bisa mencukupi hidup, sekarang penghasilannya bisa buat makan saja sudah "alhamdulillah", bahkan suaminya kini harus narik becak dan  kerja serabutan menjadi kuli bangunan demi menopang kebutuhan.

Saya cuma bisa menahan nafas ketika mendengarkan percakapan antar wanita tersebut. Satu kalimat yang cukup menyentuh ketika sang Ibu penjual berkata kepada Ibu saya. "Ya, yang penting saya tetap berusaha dan berdoa, rejeki kan sudah ada yang mengatur." ucap Sang Ibu dengan tatapan sayu tapi tetap tegar.

Saya tak tahu sampai kapan sang Ibu akan bertahan dengan keadaan seperti ini tapi setidaknya saya masih bisa melihat setitik senyuman yang tersembul dari bibir Sang Ibu penjual Celana ketika Ibu saya menyodorkan uang untuk membeli celana dagangannya.

"Alhamdulillah, Penglaris!" ucapnya syukur
.

Life must go on. :)

Situasi pasar yang sepi dan sintrung.
Celana berjejer.
Penampakan buah khas pasar tradisional
Seorang pedagang lagi asyik bobo ciang.
Seorang Ibu penjual baju batik

10 comments:

  1. *usap air mata* Hans, beliken aku celana disana ya? aku tersentuh... Tapi kamu yang bayar... #teteup

    ReplyDelete
  2. terharu banget akhirnya ada kata berbahasa inggris nonggol dari anak Kediri... *standing applause*
    Hidup cintyaluyrah!!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi, Halim terharunya karena bahasa inggris, bukan karena ceritanya?? Hah? *ngasah clurit*

      Delete
  3. DAG DIG DUG melihat POTRET kehidupan pasar tradisional. Emang benar jalan jalan itu ke mana aja bisa. dan esensiNYA BELAJAR dari apa yang di liat di dengar dan di rasakan. by the way, hans udah berapa kali kunjungan ke pasar tradisional?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gak sering sih. Kalo lagi jalan-jalan kemana gitu pengennya ngunjungin pasarnya juga, seperti pas di Jogja. Wajib ke Pasar Beringharjo. :)

      Delete
  4. Hmmmmm jadi pingin kelayapan ke pasar tapi mmg bener kok yang penting itu journey nya bukan destination nya

    ReplyDelete
  5. Replies
    1. Di Kediri, kak. Namanya Pasar Setono Betek. The oldest one in Kediri. :')

      Delete