Saturday, May 24, 2014

Virus Cinta Lingkungan

ASAL MULA

Sejak kecil kita pasti sudah sering melihat info peringatan “Jangan Buang Sampah Sembarangan” atau “Buanglah Sampah Pada Tempatnya” atau “Jagalah kebersihan”. Di pinggir-pinggir jalan, di sekolahan, bahkan di bungkus mamee (makanan ringan anak 90’s #eh) semua memasang peringatan tersebut. Ketika di Kediri (kampuang halaman akoh-red), hal tersebut mungkin masih possible untuk terealisasi, dengan masih banyaknya lahan kosong, sampah pun masih bisa dimusnahkan; baik itu di daur ulang, di jual penampung, di kubur ataupun di bakar si belakang rumah.

Ketika merasakan hidup selama hampir satu tahun di Jakarta, saya rasa jargon Luhur “Buanglah Sampah Pada Tempatnya” itu tampaknya sulit untuk terlaksanana di kota ini. Bayangin aja berton-ton sampah dihasilkan tiap hari. Okelah, di depan tiap rumah pasti ada tong/bak sampah atau okelah, pasti ada pemulung/petugas kebersihan yang mengangkutnya setiap hari. Tapi ujung-ujungnya, dengan kondisi perkotaan Jakarta yang super padat—sepadat dada JUPE—tetep aja bingung nyari tempat buat ngumpulin sampah yang jumlahnya berjuta-ton tersebut.

“Buanglah Sampah Pada Tempatnya”?

Alhasil, banyak orang malah balik bertanya; “Tempatnya Mana?”

Bisa di bilang, mungkin orang Jakarta memang sudah “saking frustasi”-nya sehingga sungai dan laut pun menjadi jawaban atas pertanyaan “Tempatnya Mana?” di atas. #DilemaJakarta

REALITA

“Hans, ke Pulau Seribu, yuk! Naik perahu cuma 30 ribu PP dari Muara Kamal.” Iming-iming si Ruslan, teman blogger saya, melaui Whatsapp.

Tanpa berpikir panjang, saya pun langsung menjawab, “MAUUUUU! BESOK BERANGKATTT!”

Malamnya, sudah bisa di tebak, saya gak bisa tidur karena sibuk membayangkan keindahan Pulau Seribu dengan terumbu karangnya. Gak sabar buat snorkeling. Gak sabar ketemu nemo. Gak sabar ketemu bulu babi dan bulu-bulu yang lainnya!

“Sewa alat snorkeling berapa, yah?” Tanyaku ke Ruslan dalam perjalanan naik motor ke Muara Kamal.

“Hans, plis... Kita, tuh, cuma mau kesekitaran Pulau Kelor (jangan salah baca-red), Onrust dan Cipir, bukannya ke Pulau Karimunjawa. Air disana kotor kalee... Mimpi aja, deh, kalau mau snorkeling!”

My dream pun tidak jadi comes true. *ngenyot bungkus durex*

Impianku makin luluhlantak ketika sampai di tempat tujuan, jangankan mau snorkeling, mau nyelupin titit jari ke air aja musti mikir-mikir dan minta petunjukNYA dulu. Kotor abis, deh, pokoknya! :((((

MULAI DARI DIRI SENDIRI

Saya bukan orang yang expert dalam bidang per-sampah-an. Tapi tidak ada yang gak mungkin di dunia ini. Masalah sampah ini pasti ada solusinya. Solusinya salah satunya adalah "kesadaran". Baik itu dari kesadaran pemerintah maupun kesadaran setiap individu. (Yaoloo, bahasamu, san! *muntah ubur-ubur*).

Ya, semuanya bisa di mulai dari diri sendiri seperti; tidak meninggalkan/atau membuang sampah di sembarang tempat. Kita bisa mulai dengan (sementara) menyimpan sampah di ransel/saku baju/beha/dll, untuk selanjutnya di buang ketika sudah menemukan tempat sampah.

SEBARKAN VIRUS CINTA LINGKUNGAN

Kesadaran dari diri sendiri sudah, kini saatnya menularkan virus cinta lingkungan kepada orang lain.

Matahari sudah mulai menyingsing di ufuk barat, perahu yang akan menjemput kami untuk cabut dari Pulau Cipir kala itu pun akhirnya tiba. Tampak dua bocah pesisir di atas perahu sedang membantu  abang-abang nahkoda untuk menurunkan barang-barang para penumpang. Setelah para penumpang turun, gantian saya dan Ruslan yang naik perahu untuk kembali pulang.

Dalam perjalanan pulang, mata saya gak bisa berpaling ke dua bocah pesisir tersebut, memandangi kepolosan mereka. Entah kenapa. (Hiks, jadi keingetan masa kecil akoh!)

“Sstt.. Mau ini?” Iba dengan keluguan mereka, saya menyodorkan sebungkus biskuit kepada mereka.

Mereka mengangguk dan dengan ganasnya melahap biskuit tersebut. Dalam 3 menit, sebungkus biskuit itu pun lenyap hanya tersisa bungkusnya.

PLUNG!

Si bocah pesisir 1 membuang bungkus biskuit itu ke laut dengan semena-mena. DEG! Hatiku serasa hancur, saya merasa berdosa karena telah ikut andil dalam pencemaran laut. *jedotin kepala ke baling-baling perahu*

Tak hilang akal, dalam relung hati yang paling dalam, saya berfikir bahwa; saya harus berbuat sesuatu, saya harus kasih contoh yang baik buat mereka, jangan sampai mereka terus seperti ini. Saya pun mengeluarkan sebungkus biskuit yang lain dan memberikannya lagi ke mereka. Bak kucing ketemu pindang, sebungkus biskuit itu lagi-lagi musnah dalam hitungan 3 menit.

Ahaa... sudah bisa diprediksi, (kali ini) Bocah Pesisir 2 mengambil ancang-ancang untuk membuang bungkus biskuit itu ke laut. Dengan sigap, saya meraih tangan Si Bocah Pesisir 2 sambil bilang,

“Sstt... Dek, sini biar abang yang buang.”

Si Bocah Pesisir 2 pun memberikan bungkus biskuit itu kepada saya. 

“Lho, Bang? Kok, bungkusnya dimasukin lagi ke dalam tas?” Tanya Si Bocah Pesisir 2 keheranan.

Saya pun menjawab rasa-keingintahuan Si Bocah Pesisir 2 dengan jawaban yang diplomatis; “Kalau di buang di laut, ntar lautnya kotor, donk... Trus, kalo lautnya kotor karena sampah, ikannya pada mati, dek. Nanti aja kalo udah nemu tempat sampah baru abang buang bungkusnya.” Cling! Ucapku sambil tersenyum penuh wibawa.

TAK SEMUDAH MEMBALIKKAN KANCUT

Sepanjang perjalanan saya senyum-senyum sendiri, senang akhirnya bisa menyebarkan “virus cinta lingkungan” kepada mereka (2 bocah pesisir). Harapan saya; siapa tahu mereka bisa juga menjadi contoh buat teman-teman mereka untuk selalu menjaga kebersihan laut—tempat mereka tinggal.

Tapi ungkapan bahwa, “Hidup ini tak semulus paha cherry bell” mungkin memang benar adanya. Harapan luhur saya itu seketika sirna ketika...

“BANG!” Si bocah pesisir menepuk pundakku.

“Apa, dek?” Saya menoleh penasaran.

“Lihat, yah, bang!”

Daann... Apa yang tersaji di depan mataku sungguh tak bisa di nyana dan diungkapkan dengan kata-kata. Si Bocah Pesisir 2 dengan sengaja mengambil sebuah bungkus mie instan dan membuangnya ke laut tepat di depan mata saya. Dengan senyum ngece seolah dia ingin mengatakan bahwa, “HEH, NYET! KOTBAHMU GAK MEMPAN BUAT GUE!”

Belum puas membuat saya terperanjat, Si Bocah Pesisir 2 lagi-lagi dengan-proudly-nya membuang varian sampah lain ke laut, kali ini sebuah botol air mineral.

BYURR!

Hati saya benar-benar terasa tercabik-cabik kala itu. Sepanjang sisa perjalanan pulang, saya hanya merenungi apa yang baru saja terjadi.

Sebegitusulitkah menanamkan “virus cinta lingkungan” kepada mereka? Sebegitusulitkah memberikan teladan yang baik kepada mereka?

APA SALAHKU, RHOMAA?! (Lho?)

Sesampai di dermaga Muara Kamal, saya pamit kepada pemilik perahu yang telah mengantarkan kami ke Pulau Cipir. Dalam perjalanan ke parkiran motor saya pun kembali bertemu dengan Si Bocah Pesisir 2. Dengan senyum licik penuh kemenangan, Iblis Cilik itu menjulurkan lidahnya kepada saya sambil berteriak, “MAKAN, TUH, SAMPAH!”

MAKAN TUH SAMPAH!
Pulau Cipir dengan topping sampahnya

MAKAN TUH SAMPAH!
2 Setan Cilik