Beberapa minggu yang lalu, dalam rangka acara kantor, saya sempat bertandang ke Kebun Binatang Ragunan. Jangan tanya kantor saya bergerak di bidang apa sampai dengan semena-menanya mengadakan acara di Kebun binatang.
Eniwey, bertandang ke kebun binatang ternyata bisa membawa
saya melebur dalam sebuah nostalgia. nostalgia dimana saat pertama kali saya berkunjung
ke kebun binatang. Tepatnya nostalgia saat pertama kalinya traveling.
Saat itu, saya masih kelas 1 SD dan sedang unyu-unyunya
(Kalo sekarang? Sedang hot-hotnya! :p). Ide traveling kala itu tercetus dari
bibir seorang wanita terpanas dan tercantik sejagat raya, Emakku. Ketika itu saya baru pulang dari sekolah. Seperti biasa, sepulang
sekolah saya langsung jatuh ke pelukannya, cipika-cipiki sebentar, lalu selanjutnya... netek.
IYA. NETEK!
FYI, Saya baru berhenti melakukan kebiasaan netek pada umur
8 tahun. Itupun harus dengan perjuangan gila-gilaan dimana Emak saya harus
melumuri putingnya dengan obat merah (kalo sekarang kita nyebutnya Betadine).
Jadi, ketika saya lagi pengen netek, Emak saya akan selalu
bilang, “Le, aduh, mimik emak lagi sakit, nih... Jangan netek dulu, yah, Le?” Rintih
Emakku sambil nunjukin toketnya yang berdarah-darah.
“Kalimat sakti” tersebut selalu dilontarkannya setiap hari dan
setiap kali saya pengin netek dan semuanya terbukti ‘it works’ sampai akhirnya
keinginan ‘pengen netek’ itu pun sirna dengan sendirinya—karena gak ada lagi
yang bisa di-tetek.
Demikian hikayat seorang anak soleh(ah) yang terbebas dari candu-tetek.
-------------- 20 tahun yang lalu
---------------
“Le, besok minggu ke BonBin, yuk!” Ajak emakku.
*‘Le’, dalam bahasa Jawa, adalah panggilan yang diberikan
oleh orang yang lebih tua kepada anak laki-laki yang lebih muda. Kalo dalam
bahasa Indonesia sebutannya ‘Nak’
“Di BonBin ada apa emangnya, mak?” Tanyaku polos sambil
terus Ngetek. Ngenyot tetek.
“Ya, kamu nanti bisa liat segala jenis binatang seperti; cicak,
semut, kucing, nyamuk.”
Pada saat itu, dalam hati, saya ingin sekali berteriak, “WOY!
KALO ITU MAH DI RUMAH BANYAKK!” tetapi karena takut di cap ‘anak durjana’ saya
pun mengurungkan niat tersebut.
“Asiik! Besok minggu kita ke BonBiiin!” Ucapku kegirangan.
“Iyo, le. Emak tau kamu lagi gembira. Tapi gak pake gigit
tetek emak kenceng-kenceng gitu, keleuus!” Ucapnya sambil menyambitku pake blender.
---------------- hari minggu tlah
tiba ---------------
Akhirnya kami berlima berangkat sekeluarga (Emak, bapak, 2
kakak perempuanku & saya). Kebun Binatang yang akan kami kunjungi kala itu adalah kebun binatang
yang baru-baru ini sempat mendapat julukan “The Zoo of Death” yang tak lain dan tak bukan
adalah Kebun Binatang Surabaya (KBS), bedanya kalau dulu, sih, hewannya masih
gemuk-gemuk, ginuk-ginuk, bantet dan makmur plus terurus.
Perjalanan dari Kediri ke Surabaya kami tempuh menggunakan
kereta api dalam waktu 5 jam; ini estimasi lama perjalanan kereta api di jaman
baheula—karena, you know what, kenapa kereta jaman dahulu lemot banget? Karena kereta
api jaman dahulu selalu berhenti di setiap stasiun yang ada di setiap
kecamatan. Bisa dibayangin, donk, 1 kota aja ada berapa kecamatan? Dan biasanya di tiap kecamatan pasti ada 1 stasiun.
Jadi, kalau perjalanan: Kediri – Surabaya = 5 jam,
Apa kabar dengan: Surabaya – Jakarta?
Hasilnya = Semua penumpang bunting di dalam gerbong.
---------------- sampai di kebun binatang
----------------
Bapak dan kedua kakak saya lagi mengantre tiket masuk
sementara Emak duduk di bawah pohon untuk berteduh sambil megangin perut,
maklum doi selalu mabok kalo naik kendaraan umum.
Ketika saya sedang asiknya
people-watching, seorang abang-abang mendatangi saya sambil memberikan
sebungkus permen lolly, secara cupu dan lugu saya pun meraih permen pemberian
orang tersebut. Rejeki gitu, loh! Ketika saya hendak membuka bungkus permen
tersebut, dengan cekatan Emakku langsung merebutnya dari genggamanku.
“Apaan ini?!!” Teriaknya memecah suasana.
Selanjutnya dengan muka geram, doi mendatangi abang-abang
tersebut dan mengembalikan permen pemberiannya.
Memasuki area kebun binatang, untuk pertama kalinya saya
menikmati asiknya ber-pelesir. Untuk pertama kalinya juga saya menyadari
bahwa di dunia ini gak cuma ada manusia, tetapi ada juga makluk-makluk indah
lainnya yang hidup berdampingan secara harmonis (Bahasamu, Hans!).
Saat kami berlima (Power Rangers dari Kediri) sedang
menikmati makan siang di bawah pohon beringin, kembali seorang abang-abang mendekatiku
dan memberikan sepotong es krim. Dengan oon dan bloon-nya saya pun menerima
pemberian si abang. Ketika hendak menjilat es krim tersebut, kembali, dengan
sigap dan sedikit ilmu kanuragan, emakku langsung merebutnya dari genggamanku.
“Opo ikiii?!!” Amarahnya meledak.
Selanjutnya, dengan murka, doi melabrak abang-abang
tersebut dan mengembalikan es krim pemberiannya. Sempat beberapa menit doi mendamprat si abang. Saya sempat bingung dibuatnya. Kenapa doi sampai begitu
marahnya ketika ada seseorang memberikan sesuatu kepadaku?
---------------- perjalanan pulang
----------------
Puas ketemu saudara kembar di Kebun Binatang, kini saatnya pulang.
Perjalanan yang lama, kondisi bus yang super panas dan jorok, pedagang dan pengamen yang
tiada hentinya melenggang, membuat kami terkapar tak berdaya di dalam kereta.
Kondisi paling mengenaskan dialami oleh (lagi-lagi) emakku—doi emang tokoh utama
dalam episode kali ini.
“HOWEEKK! HOUWEEEKKK! SORRRR!” Sarapan siang emakku tercecer
di dalam tas kresek hitam.
Doi mabuk lagi, cuy!
“Hahaha, perjalanan segini aja udah mabok, toh, maak... makkk!” Sindir bapakku.
"HOUWEEEKKK! SORRRR!” Makan siang emakku kali ini
tersembur ke muka bapakku.
Kedua kakakku ngakak salto.
“Eh, adek imuuuut!” Tanpa diantar dan tanpa diundang, seorang
ibuk-ibuk mendatangiku, mencubiti pipiku sambil bilang, “Tante punya coklat,
adek mau?”
Saya mengangguk mesum.
“JANGAN MAU!!!” Jerit emakku kesetanan sambil matanya mendelik. Masih terlihat sisa nasi (hasil muntahan) di bawah bibirnya yang sensual.
Mungkin karena takut di lempar tas kresek berisi cairan radioaktif yang di pegang emakku, akhirnya ibuk-ibuk pembawa coklat tersebut langsung lari tunggang langgang.
Suasana hening beberapa saat.
"HOUWEEEKKK! SORRRR!”
----------------- nowadays -----------------
Sampai saat ini saya masih penasaran kenapa setiap ada orang
asing memberikanku sesuatu emakku selalu marah dan menyuruhku menolak pemberian tersebut? Feeling-ku menjawab; "Ah, mungkin doi khawatir kalau makanan tersebut mengandung racun yang dapat
membahayakan tubuhku." Lagipula kita, kan, harus selalu waspada dan hati-hati terhadap
orang asing, bukan?
Teka-teki itu akhirnya terjawab, ketika saya menelpon
beliau, saya pun iseng menanyakan,
“Mak, kenapa, sih, dulu pas aku masih kecil pas kita ke
kebon binatang, ketika ada orang yang ngasih aku sesuatu, emak selalu marah?”
Sambil ngakak doi menjawab, “Hahaha. Mereka, tuh, ngasihnya gak gratis, begok!"
Sambil ngakak doi menjawab, “Hahaha. Mereka, tuh, ngasihnya gak gratis, begok!"
Doi tambah ngekek, "Mereka semua adalah pedagang! Kalo tiap ada pedagang ngasih sesuatu ke kamu dan kamu
menerimanya, wah... bisa bangkrut emakmu ini, Le! Hahahaha”
“......”
Hatiku rasanya tersayat-sayat mendengar jawaban doi.
Hatiku rasanya tersayat-sayat mendengar jawaban doi.
-------------------------------------------------------------
Kesimpulan:
OK, FIX! Sekarang saya tahu, seberapa besar sayang emakku kepadaku. T____T