Sunday, September 21, 2014

Dugem Ehem


[Beberapa nama tempat dalam cerita ini sengaja saya sembunyikan demi menjaga harkat dan martabat tempat tersebut]


*Suatu malam yang kelam, di sebuah hostel di kawasan Jl. Gajah Mada, Jakarta.*

"OO, SHIT, THERE IS NOTHING TO DO IN THIS CITY. THIS CITY'S JUST LIKE SHIT!" Ivo, si bule gondrong dari Spanyol memasuki kamar hostel sambil misuh-misuh gak jelas, membuyarkan rumpik-asik saya dengan Gustav, si bule muda belia asal Swedia.

Gustav hanya tersenyum simpul menanggapi amukan si gondrong, sedangkan saya hanya ngakak (dalam hati) karena baru kali ini melihat seputung bule (rokok, kalee) misuh-misuh tentang tempat yang dulunya menjadi "dream destination"-nya, Jakarta. Saya penasaran, Opo, seh, yang sebenarnya dia cari di kota se-'permai' Jakarta ini?

"Gue kira Jakarta, tuh, keceh badai gitu. Taunya macettt, panas! Hahhh" Cerca si gondrong sambil begidik.

Dua backpackers dari Malaysia  akhirnya menyarankan solusi atas keresahan si bule gondrong dengan mengajaknya dugem. "Hey, Hans, awak tahu location of some pubs or diskotik near from here?"

Saya hanya menggeleng cengeng, karena dengan umur se-'senja' ini saya (akui kalo saya memang) belum pernah dugem, apalagi di Jakarta. *self-puk-puk!*

Si Malaysia pun melenggang nanyain ke petugas hostel. Setelah beberapa menit, si Malaysia kembali ke kamar membawa kabar menyegarkan.

"Guys! How if we go to a discotique, now?"


Muka si bule gondrong seketika merekah mendengar ajakan si Malaysia. 

Hasilnyaaaa! Kami berlima (saya, 2 malaysia, Gustav & bule gondrong) membelah jalanan ibu kota mencari "something fun", fun menurut para bule.

22:30: Kami ngantri membeli tiket busway di halte Harmony--Mbah-nya halte busway se-Indonesia--menuju kawasan kota tua. Ngantrinya sendiri-sendiri, bayarnya sendiri-sendiri. 

22:45: Hanya 15 meniit, kami sampai di Kawasan Kota tua, setelah bertanya ke orang-orang setempat, akhirnya sampailah kami di diskotik impian.

Dari luar diskotik itu sama sekali tidak nampak 'aura binal'--seperti kebanyakan diskotik pada umumnya. Bangunannya pun tampak bersahaja--cenderung kalem, elegan dan megah karena merupakan bekas bangunan jaman Kolonial.

"Gilak, diskotiknya pasti oke, nih!" Pikiran cabulku mulai menyeruak dengan lantangnya.

Memasuki pintu masuk, seperti biasa tubuh kami pun digerayangi (untung  cuma sebentar, kalo kelamaan bahaya!) oleh para om-om bodyguard 'endemik' diskotik. Setelah dinyatakan 'steril', kami pun memasuki ruangan diskotik dengan "atmosfer ajeb-ajeb-nya"; ruangan gelap dengan efek lampu mati-nyala, debam-debum, DJ, dan (tentunya) para mbak-mbak malamnya.

Tidak butuh waktu lama, para mbak-mbak malam langsung beraksi dengan mengerubungi kami sambil nawarin diri minuman.

"Guys, it's time to get drunk. Woooo!" teriakku sok gahol ke mereka, padahal aslinya jilat botol beer aja pun belum pernah.

Kami pun mulai menengok  menu yang tersedia disana.

"So, what do you order, guys?" tanyaku ke mereka..

"Hmm... Fanta." Pesan Gustav.

"Heh?" saya terbengong tak percaya.

"I order Coca-cola!" pesan si Malaysia 1.

"I order Fanta too" pesan Malaysia 2.

"You?" tanyaku sambil nunjuk si bule gondrong.

Dengan wajah serius si bule gondrong menjawab, "Mmm... Minute maid pulpy orange!!" ucapnya mantap.

"YAELAH, KIRAIN PADA MESEN BIR, TAIK..." teriakku dalam hati. Bule se-garang Ivo pun ternyata demennya minuman rasa-rasa.

"Yaudeh, karena gak ada yang pesen bir, gue pesen Neskape aja, deh, mbak!" ucapku ke mbak-mbak disko sambil nyodorin uang patungan kami berlima.

23:30: Tiga puluh menit pertama, kami berlima masih terlihat asyik goyang-goyang, meski tanpa beranjak dari meja. Si bule gondrong beberapa kali disamperin mbak-mbak malam untuk di ajak joget, dan dia hanya bisa membalasnya dengan geleng-geleng sambil bilang, "No, thanks!"

00:00: Suasana mulai menjemukan, bukannya tambah ramai, lantai dansa malah tampak sepi, hanya ada sepasang nenek-nenek (asli ini nenek-nenek!) sedang mabok berat sambil goyang-goyang gak jelas. Music yang di putar para DJ pun ternyata tidak jauh dari "Oplosan", "Kereta Malam", dan lagu-lagu koplo pantura lainnya!

01:00: Sepasang nenek-nenek masih bertahan dengan goyangannya. Sedangkan mbak-mbak, yang jumlahnya puluhan itu, entah kenapa pada teler dan meletakkan kepalanya di atas meja. Ya, semuanya pada tidur. Heloooo... Ini diskotik apaan? Praktis pusat tontonan kini hanya berpusat ke sepasang nenek-nenek lagi nge-fly berat.

"What thefff..." Ucap di bule gondrong melihat si nenek goyang makin menjadi.

"Should we go?" Gustav bertanya.

Kami serentak menjawab, "Yess, we MUST" dengan muka merana plus putus asa.

01:30: Setelah sukses lolos dari diskotik butut, si bule gondrong pun menghela nafas panjang sambil berucap yang kalau diartikan dalam bahasa Jerman adalah, "Makasih, yaolooh! Akhirnya bisa keluar dari diskotiknya para nenek-nenek."

Kami berlima pun terkekeh di dalam angkot saat perjalanan pulang. Kami berlima baru sadar bahwa di diskotik tersebut tidak ada charge apapun untuk bisa masuk. Pantesan clubbers-nya mbah-mbah semua!

"Hey, kalian lagi nyari diskotik, ya?" tanya seorang bapak-bapak di dalam angkot.

"Iya!" jawab si Ivo dengan bahasa Indonesia, seolah masih haus dengan pertunjukan nenek-nenek klubbing.

"Stop disini aja." Sret. Angkot pun seketika mandek, "Tuh, itu diskotik yahud, kalian pasti sukak, deh!" ucap si bapak menggebu-gebu.

"Leeeet's party!" Si bule gondrong kegirangan loncat dari angkot.

Memasuki pintu gerbang diskotik, entah kenapa jantung saya berdegup kencang, hati kecilku mengatakan, "Ini kayaknya bukan diskotik abal-abal seperti yang barusan."

Dan benar saja kami pun di cegat para penjaga pub.

"A hundred and fifty. Each!" ucap mas-mas resepsionis.

Kami berlima pun berunding:

"So, you guys come in?" tanyaku ke mereka.

"That's so expensive." ucap Gustav.

"Yeaaaa" sahut si malaysia.

"You?" tanyaku ke bule gondrong

"Sorry, guys, I don't have money. By the way, I'm so sleepy now." jawabnya lemas.

"....."

Tadi aja semangat. Dasar para bule kere.



Ending: Malam--yang seharusnya liar--itu akhirnya kami habiskan dengan bobo-bobo imut di bunk bed masing-masing. 

(Model: gue, bule gondrong + abang penjaja viagra) Sebelum dugem kami sempat nawar Viagra yang ramai dijajakan di pinggir jalan Gajah Mada