Tuesday, November 18, 2014

Ngebacot Bareng Bule


Saya sering bertanya-tanya dalam hati ketika mendapati beberapa teman saya yang jago ngomong dengan bahasa Inggris. Emang kenapa? Padahal kebanyakan dari mereka tidak pernah kuliah jurusan Bahasa Inggris (kebanyakan ngambil jurusan Grogol-Kalideres), loh!

Btw, saya yang ngambil kuliah jurusan Bahasa Inggris, yang notabene EMPAT TAHUN bergelut dengan bahasa Inggris aja bahasa inggrisnya masih belepotan. Bahkan ketika ngelamar kerjaan pun sang interviewer sampai ngomong di depan muka saya, “Jurusan Bahasa Inggris tapi bahasa Inggrisnya parah gini, yah?”

#Jlep

#MalunyaTuhDisini

*nunjuk selakangan*

Untuk mancari tahu teka-teki tentang bagaimana-teman-temanku-English-nya-bisa-yahud, maka saya pun menginvestigasi mereka satu-persatu. Berikut beberapa penemuan saya:



Penemuan 1:
Usut punya usut beberapa diantara teman saya tersebut pernah beberapa tahun tinggal di luar negeri baik di Amerika, Australia ataupun Eropa. Ada yang karena lahirnya emang disono dan menghabiskan masa kecil lingkungan yang semuanya ber-hewes-hewes dengan bahasa Inggris (Ingat, masa kecil sangat menentukan kemampuan mother tongue anak!). 

“Eh, si Tutik keren banget, ya, English-nya! Udah kayak bintang-bintang holiwut aja speaking-nya!” teriakku norak.

“Hellooo, doi, kan emang bokapnya orang Amrik, dari lahir ceprot juga udah di Amrik!” samber salah satu temanku dengan nada menggebu-gebu.

“Oh...” jawabku datar.

Penemuan 2: Ada yang diantaranya sempat mengenyam pendidikan di luar negeri. 

“Saya di Aussie kuliah selama 5 tahun.” ucap salah satu teman.

“Hmm. Pantes!” ucapku.

“Pantes kenapa?” tanyanya heran.

“Pantes muka lo kaya Bumerangnya Aborigin!” 

“Hahaha! Bengkok, donk?” jawabnya tanpa marah sedikit pun.

Intinya, ketika mereka sekolah di luar negeri, mau gak mau, mereka kudu ngebacot pake bahasa Inggris juga! Nah, karena efek “kepepet” inilah akhirnya mereka terbiasa dan bisa! Iso mergo kulino. Istilah kerennya “get used to”! #ehm.

Penemuan 3: Sering traveling, gaul dan ngomong sama bule.

Ini penemuan saya yang paling asyik, beberapa teman saya pandai ngomong English karena suka traveling dan bergaul dengan bule, baik itu: untuk dijadiin pacar, temen jalan atau pun klien jalan, karena dia memang seorang tour guide.

“Kamu pernah sekul di luar, ea? Bahasa Inggris qmu keyeen!” tanyaku alay.

“Ach, ugag qug. Kalena celing jaland-jaland adjach. Qan, pas tr4peling banyag ktemuh tmend-tmend bule jadina bsa pr4ktekin English aquwh!” jawabnya gak kalah alay.

Mendengar penjelasannya, saya pun gumoh.

Mengacu pada penemuan yang ke-3 tersebut lah saya jadi getol jalan-jalan dan sebisa mungkin praktekin kemampuan speaking saya bila ketemu bule. Pucuk dicinta ulam pun tiba, ketika traveling ke Bandung kemarin dan menginap di salah satu Hostel disana, saya akhirnya dapat mempraktekkan kemampuan saya dengan bule secara maksimal.


Berikut ceritanya...


“Mas, masih ada kamar kosong, gak?” 

“Kami adanya dorm, mas.”

“I-iya, maksud saya, masih ada bed kosong, gak?”

“Masih, mau berapa orang?”

“Satu aja. Berapaan?”

“100 ribu per malam.”

“Oke. Saya pesen satu, ya, pake kecap krupuknya banyakan, sambelnya dipisah!”

Tut-tut-tut! 

Itulah percakapan saya dengan seorang resepsionis salah satu hostel di Bandung. Saya memang belum punya kartu kredit karena belum siap ngutang (tepatnya apply berkali-kali selalu ditolak! Bayangin apply 5 kali ditolaknya 8 kali! Huvt!), jadi kalo mau booking hostel, ya, harus nelpon dulu. Hehe.

Sore itu, sepulang dari kantor, saya langsung cus ke Bandung menggunakan kereta api dari Stasiun Gambir. Sampai di Stasiun Gambir mata ini dibuat terbelalak melihat pemandangan di Stasiun Gambir. Saya,  yang biasanya naik sepur dari Stasiun Pasar Senen (Saya menyebutnya; Stasiunnya Kaum Sudra!), takjub dibuatnya. Semua traveler-nya borju, man

Mendarat di Stasiun Bandung, saya kembali menelpon sang pemilik hostel.

“Mas?”

“Iya?”

“Saya yang tadi nelpon.”

“Iya?”

“Saya sudah sampe Bandung, nih.”

“Masnya jadi pesen nasi gor... eh, bed?” Si pemilik hostel terbawa suasana.

“Ya, jadilah! Tempatnya dimana, ya?”

Dengan ‘wahyu’ dan petunjuk terperinci dan terstruktur oleh sang resepsionis tersebut, akhirnya saya sampai di hostel dengan khusnul khotimah! Ternyata resepsionis tersebut adalah mas-mas muda berwajah tiongkok ala-ala boyben. Si mas pun mengantarkan saya ke kamar.

“Anunya dilepas dulu, mas!” pintanya.

“Apanya?” saya terkesiap.

“Sepatunya.”

“Oh!” ucapku lega setengah kecewa (If you know what I mean :D )

“Kebetulan, karena ini hari senin, jadi banyak ranjang yang kosong.” Ucapnya sambil menggelandang saya ke kamar.

“Sekamar ada berapa ranjang, mas?” tanyaku kepo.

“Ada sepuluh.”

“Waduh semuanya kosong?” saya mulai parno tidur sendirian.

“Enggak, kok, ada satu bule yang barusan datang tadi sore.”

Begitu pintu kamar terbuka... Tadaa!

“Haii!” seorang bule dengan ramahnya menyapa saya.

“Haii!” jawabku sambil terbengong melihat muka bule tersebut yang cakepnya gak ketulungan. Serasa ngaca, deh! Hehe.

Bule yang berasal dari Jerman tersebut bernama Martin, doi ke Indonesia dalam rangka #Rtw alias Round-the-world Trip.  Dasar bule Eropa, baru lulus kuliah aja udah bisa keliling dunia! Saya? Cuma Bisa keliling hatimu. #eaa

 “Do you like trekking?” tanya si Martin.

“ Trekking?”

“Like trekking to the mountain?”

“Oh. Yes, I do.”

Singkat kata, Si Martin ngajak trekking ke Tangkuban Perahu esok hari. Karena saya belum punya rencana kemana selama di Bandung, jadi saya iyain aja lamaran ajakan doi. Setelah ngobrol perkenalan selama 1 jam akhirnya kami pun beranjak ke pelaminan tidur.

“Alright. Sleep well, Hassan! I’m so excited about our trip tomorrow!” ucap si Martin sambil matiin lampu kamar.

“Me too, beibs!” 

---------------------------------------

Paginya, begitu membuka mata...

“Good morning, Hassan! Did you sleep well last night?” sambut Martin yang juga baru bangun tidur dan masih koloran. *Glek*

 “Emm. Yes. I slept sooo well!” jawabku semangat sambil ngulet tebar pesona.

Yes. Pagi itu saya langsung merasa berada di Eropa karena bahasa yang saya ucapkan begitu membuka mata adalah bahasa Inggris, cuy! :)

Karena bakal jalan-jalan dengan bule, mau gak mau saya harus ngomong pake bahasa Inggris full-day! Yeay! Ketika sarapan di hostel, kami pun mulai ngobrol tanya-jawab tentang topik-topik standard mulai dari kerjaan, hobby, ukuran CD, sampai makanan pokok di negara masing-masing.

“So, what do you usually eat for breakfast, Martin?” tanyaku memulai pertanyaan.

“Hmm, just like what we are eating now. Bread, a cup of tea! You? What do you eat for breakfast?” tanyanya balik.

“We, Indonesian, have the same menu for breakfast, lunch and dinner as well.”

“What’s that?”

“We eat rice whole day everyday!”

“Hmm. Plain rice or sticky rice?”

Saya tercekat, “Sticky? Rice? What’s sticky rice?”

“Sticky. Like you know...” ucap si Martin sambil mempraktekkan bahwa tangannya lengket.

Saya pun seketika teringat sticky note yang biasanya digunakan di kantor yang lengket itu. Ternyata maksut Si Martin dengan “Sicky Rice” itu adalah Beras ketan!

Saya pun ngakak kejengkang menyadari kebego’an sendiri.

Setelah sarapan, kami mengunjungi Gunung Perahu Tengkurep (a.k.a Tangkuban Perahu), lokasi pertama yang kami kunjungi. Sampai di lokasi, saya langsung menawarkan diri menjadi guide dadakan buat si Martin. Dengan vocabulary seadanya saya pun menjelaskan asal-muasal dan mitos seputar Gunung Tangkuban Perahu. 

“Alright, Martin. Once upon a time. Bla, bla, bla....” penjelasan saya tutup dengan keluarnya busa dari mulut saya.

Si Martin hanya manggut-manggut.

“Martin, do you understand what I’ve just told?” tanyaku.

“Of course, I do!” Doi mengangguk—yang saya yakin kalau dia saya suruh retell pasti gak bisa! :D

Ohya, bila jalan sama bule kita harus siap menjawab setiap pertanyaan mereka tentang suatu benda yang baru mereka temui.

Kasus 1:
Ketika perjalanan pulang, si Martin, secara ajaib, terpesona terhadap bakpao. Iya, bakpao! Saya gak tahu kenapa, mungkin karena bentuknya yang agak mesum itu, ya?

“Hassan!”

“Yes, Martin?”

“What is that?”

“Oh, that’s cake, called Bakpao!”

“I knew it, but what did they use to make it green?” 

Ketika saya perhatikan ternyata bakpao tersebut memang berwarna hijau. Dan saya tahu warna hijau tersebut dihasilkan dari daun pandan. Dalam hati saya pun langsung mikir, “Bahasa Inggrisnya daun Pandan apa, yaaaa?”

“Emmmm... It becomes green because of... Emmmm.” saya makin kalut karena gak nemu jawaban yang tepat, "because of...."

“Pandan?” jawab si Martin.

“HAAA! PANDAANNN!” teriakku semangat.

 Kampret! Ternyata bahasa Inggrisnya Pandan tetep Pandan! Pffft!

Kasus 2:
Anyway, Bukan hanya Martin yang pernah bertanya hal yang tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Suatu saat, saya pernah jalan dengan seorang bule asal Swedia, ketika lagi enaknya jalan, doi bertanya:

“What flower is that? I’ve never seen it before?” tanyanya sambil nunjuk setangkai bunga sepatu.

Dengan confident tingkat tinggi saya pun menjawab, “Well, this is SHOES FLOWER!”

“SHOES FLOWER? It does not look like shoes at all!” protes dia keheranan.

“Serah elo dah!!” jawabku bete.

Kasus 3:
Kembali ke si cakep Martin. Ketika kami melewati area perkebunan kopi di Taman Hutan Maribaya, sebuah taman konservasi eksotis di Bandung Selatan. Martin nunjuk-nunjuk beberapa tumpuk karung yang berada di pinggir jalan. Menjawab rasa penasarannya, saya pun membuka karung tersebut dan mengambil isinya barang sejumput. Isinya ternyata adalah semacam biji-bijian, karena disini lokasi kebun kopi saya pun berasumsi biji-bijian ini adalah biji kopi karena bentuknya 90 % mirip kopi.

“What is that?” tanyanya kepo.

Sambil memegang benda tersebut, dengan ragu, saya menjawab, “It is coff... emmm” 

Saya mulai merasa ada yang aneh. Benda-mirip-biji-kopi itu ternyata lunak, “Lho? Biji kopi kok lunak?” gumamku dalam hati.

Si Martin masih menunggu jawabanku dengan serius. Saya pun mulai memencet biji-bijian tersebut. Diluar dugaan,  biji-bijian tersebut akhirnya hancur menjadi lembek dan.... lengket!

Saya pun berteriak sambil melempar benda laknat tersebut, “WHOAAA SHIT!!!” 

“WHAT?!” tanya Martin.

“SHIT!”

“WHAT?!” tanyanya lagi.

“SHIT. IT’S GOAT’S SHIT! I TOUCHED GOAT’S SHIT! AKKKK SHIIIIIIIIIIIIIT” saya pun langsung menjerit membabi buta dengan menggunakan bahasa Inggris tingkat film Hollywood yang artinya, “TAIK, GUE MEGANG TAIK KAMBING! AKKKK! TAIIIIIKK!”

Si Martin pun ngakak kejang-kejang.

FYI: Kotoran kambing tersebut memang sengaja dikumpulkan warga sekitar untuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik perkebunan kopi. 

Pffft! 

SHIT!


--------------------------------------

Nge-fens ama Martin? Kunjungi blog doi di www.roughtravel.de! ;)


AKKK! *Jadi bintang FTV*
Nemu Curug keren di Maribaya
Tai kambing jahanam!
Saudara kembar -> Bule & bulepotan!