Sunday, July 22, 2018

The Deadly Beautiful, Ladakh!


Pesawat bercat orange-kemerahan milik India Air take off dengan elegan di atas langit kota Delhi yang berkabut karena polusi. Saya senyum-senyum senang karena setelah sekian lama, saya akhirnya bisa berkesempatan berkunjung ke negeri atas awan, atap dunia, Himalayan-Ladakh.

Banyak orang tertarik ke Ladakh setelah nonton filem blockbuster 3 Idiots. Tapi saya sendiri jujur belum pernah lihat filemnya. Saya cuma sekali lihat cuplikan film tersebut saat adegan Si Aamir Khan cipokan ama Kareena Kapoor di Danau Pangong Tso. Tapi itu belum cukup bikin saya ngiler ke Ladakh. Saya lebih tertarik dengan kehidupan warga Ladakh beserta biksu-biksunya yang memiliki karakter wajah berbeda dari kebanyakan warga India, saya lebih tertarik dengan pegunungan salju abadi pencakar langitnya,  saya lebih ngeces dengan monastery-monastery megah yang terpahat indah dipuncak gunung yang terjal.

Sepanjang perjalanan saya tak henti-hentinya tersenyum, senyum saya makin lebar saat pemandangan hijau daratan berubah menjadi cokelat dengan bercak-bercak putih salju--Pesawat kami mulai memasuki garis teritori pegunungan Himalaya. Rentetan pegunungan Himalaya menjulang gagah mulai dari Myanmar, Bhutan, Tibet di China, Nepal, India, dan Pakistan.

Semakin lama, gunung-gunung salju mulai terlihat semkain dekat dari atas pesawat.

"Flight attendants, prepare for landing!" suara macho sang kapten dari meja kemudi seketika bikin senyum saya makin lebar. Saya akan landing di Leh, Ladakh, Salah satu airport TERTINGGI DI DUNIA, GAESSS!

Pramugari Tamil berseragam saree mulai menginstruksikan seluruh penumpang untuk mengencangkan sabut pengaman. Selain karena ini adalah prosedur standart saat landing, proses landing di atas pegunungan (terlebih pegunungan Himalaya) sangatlah tidak se-simple proses landing di dataran rendah. Pesawat kami mulai mengurangi ketinggian jelajah, gunung-gunung salju makin terlihat dekat, mata saya makin terbelalak lebar mengagumi keindahan-Nya.

Pesawat kami mengalami guncangan hebat saat membelah 2 tebing raksasa, posisi yang sempit membuat angin makin kencang menghadang. Perlu pilot dengan skill yang mumpuni untuk dapat terbang dengan medan jelajah seperti ini, karena kalau sayap nyenggol bukit bukit dikiiit aja, wassalam!

Perut saya makin teraduk dengan goncangan hebat, tangan dan kaki seketika keluar keringat dingin, saya mulai panik dan baca-baca doa (saat maut mendekat biasanya orang baru merasa dekat dengan Tuhan, hehehe). Pesawat beberapa kali miring ke kiri ke kanan ke kiri lagi menukik mengikuti kelokan perbukitan di kiri dan kanan begitu seterusnya! (Beneran berasa mau mati!). Setelah terombang-ambing di langit Ladakh yang luar biasa indah, pesawat kami akhirnya landing di Bandara Kushok Bakula Rimphocee di Leh di ketinggian 10,000 kaki!

Sebelum turun pesawat, pamugari Tamil menganjurkan kepada seluruh penumpang untuk minum obat seperti Diamox serta istirahat sebagai sarana untuk "membiasakan tubuh" dengan kondisi ketinggian kota Ladakh yang ekstrim. Saya yang sok tahu dan super songong cuma merespon dengan anggukan, "Okay! #datar" karena saya masih gak merasa ada rasa yang aneh dengan tubuh saya.

"JULEH!" (sejenis sapaan Halo/Selamat Datang dalam bahasa lokal Ladakhi), petugas airport tersenyum menyambut kedatangan kami. Layaknya penerbangan internasional, paspor kami dicek satu-persatu (pengecekan paspor ini lumrah dilakukan di India khususnya saat memasuki daerah perbatasan ataupun rawan konflik seperti Kashmir dan Ladakh).

Usai pemeriksaan paspor, saya melangkah keluar bandara Leh, baru beberapa langkah keluar, saya hangover kehilangan keseimbangan! Kaki saya lemas, tubuh lunglai, kepala saya seolah mati rasa. Saya tersungkur di lantai, sampai seorang turis lainnya menolong saya bangkit.

"Taiii. Ini toh, efek dari Altitude Sickness!" dalam kondisi lemas saya masih sempat bilang "Taiii!"

Setelah duduk di lantai kayak orang bego dan jadi tontonan orang selama kurang lebih 5 menit dan mengumpulkan kesadaran, saya akhirnya kembali bangkit, tubuh saya kembali terasa fit dan normal.

"Yeay! Sudah sehat lagi!" Bathinku.

"Are you okay?" Tanya si turis yang membatu saya tadi, yang ternyata adalah turis Korea. Saya mengangguk kalem.

Setelah ngobrol basa-basi dikit, akhirnya kami patungan bayar angkot menuju hostel kami yang terletak di pusat Kota Leh (Mayan, dapet temen baru bermuka layaknya Boyband plus bisa diajak patungan! OPPA OTHOKAE OPPAAA!!! *gelendotan manja*)

Si Turis ini ternyata belum booking penginapan, dan dia mau bareng saya nginep di hostel yang sama, tapi sayangnya setelah nyampe hostel doi gak mau karena tempatnya agak nyempil dan perlu jalan kaki agak jauh kalau mau ke pusat kota. Kami pun berpisah, tanpa sempet tukeran email, no telepon, ataupun akun Instagram, di tambah saya pun lupa nama Korea dia--yang sulit banget nyebutinnya.

#cedih

*silet-silet ketek di pojokan WC*

Sampai di hostel, saya, like a boss, langsung meminta owner hostel nyariin motor sewaan buat saya jalan-jalan. Sang pemilik hostel bilang, "Seriously, you have just landed here, and now you want to drive motor cycle?"

"Yes, no problem, I feel okay, I have a very limited time here, next two days I have flight to Kyrgyzstan!" jawabku congkak.

Sekejap saat motor sewaan tiba, saya langsung meluncur menuju Khardung La, yang terkenal dengan sebutan "The World's Highest Motorable Road". Jarak Kota Leh dan Khardung La hampir 40 Km, dengan jarak tempuh maksimal 2 jam. Saat itu masih cukup pagi (jam 11) sampe Khardung La pukul 13:00, explore Khardung La 2-3 jam balik pukul 16:00 sampe hostel lagi pukul 18:00. Itu hitungan mudahnya!

Ladakh - Khardung La dari Google Map


Saya sudah membayangkan betapa viralnya foto saya nanti di Instagram bertuliskan "Khardung La, The Highest Road in The World!", pasti para selebgram ternama seperti Dian Sastro, Dijah_Yellow, Mimi perih, Mordelennte bakal follow saya! *ngakak dajjal*

Dengan bensin penuh saya mantap ngegas motor Honda scooter sewaan berwarna abu-abu tersebut membelah terjalnya pegunungan Himalaya yang ganas. Sebuah keputusan yang lumayan gila dan nekat. Sebelum berangkat, saya sempat baca artikel di mana masih sedikit travelers (ada, tapi dikit) yang pernah menaklukkan Khardung La dengan scooter. Dari situ saya tau, bahwa ini gila, tapi masih possible dan make sense!

Beberapa menit keluar dari pusat kota Leh, adrenalin saya makin terpacu melihat jajaran pegunungan batu terpampang REAL di depan mata, kibaran bendera-bendera doa yang berwarna-warni khas Monastery Himalaya menyambut saya. Udara mulai dingin menusuk. Perjalanan mulai terasa menanjak dan motor saya berjalan pelan karena makin berat. Pemandangan kiri dan kanan sungguh tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, bahkan gak cukup hanya dengan sebuah foto atau video, you have to witness it with your own eyes, baru bisa merasakan kemegahannya! Saya sampai habis kata-kata, sepanjang perjalanan saya cuma bisa mangap dan melotot kagum.

Saya gak peduli dengan puluhan travelers dengan motor gede berkecepatan tinggi yang war-wer menyalip saya, I just want to enjoy this moment!


Travelers lain dengan motor gedenya!


Saat lagi "enjoy the moment" saya dikejutkan dengan teriakan warga sekitar:

"WATCH OUTTT!!!"

Seketika saya ngerem scooter mungil saya, "SREETTT!!!" ban depan motor saya sudah menginjak bebatuan dan kerikil terjal dengan jarak cuma beberapa senti di depan jurang! Saya terbengong shocked karena lagi-lagi hampir mati. Kalau si bapak gak neriakin, saya udah pasti koit.

"I KNOW THE VIEW IS BREATHTAKING, BUT YOU HAVE TO BE CAREFUL, MAN!" teriak si bapak dari ujung jalan. Jalur ini memang indah tapi berkelok-kelok, sempit dan berbahaya!

Saya mengacungkan jempol ke si bapak tanda, "NOTED!"

Sejenak setelah kejadian tersebut saya kembali merasakan apa yang saya rasakan saat baru landing di bandara Leh, tubuh dan kaki saya lemas, kali ini diikuti dengan pusing kepala hebat. Saya menarik nafas dalam-dalam sambil mengumpulkan tenaga dan kesadaran. Baru beberapa menit motor saya melaju, tubuh saya kembali drop, kali ini dibarengi dengan demam yang menusuk nafas pun makin susah karena udara di ketinggian yang makin menipis. Kembali, saya menghentikan laju motor.

Pemandangannya bagus tapi perut lagi keblet muntah :((


"Ya Alloh, apa yang terjadi pada Pangeran, Ya Alloh?" saya bergumam gak jelas kek orang mabok, "Ini kan baru separo perjalanan, masa gue harus balik, Ya Alloh?" ucapan saya makin ngelantur.

"Saya kan pengen menaklukkan Khardung La, The HIGHEST Motorable Road in the WORLD! Gak lucu donk, kalo nyerah sebelum waktunya? Saya kan juga pengen masuk koran (lampu merah) dengan title "Seorang Pemuda Indonesia Penakluk Jalanan Tertinggi Dunia berhasil menaklukkan Himalaya dengan Scooter sewaannya yang hits, Ya Alloh!"" Gumamku.

Diantara gumaman gak jelas, saya seolah mendengar sebuah bisikan pramugari Tamil pesawat India Air di telinga saya, "Kamu baru aja landing di Ladakh, the highest airport in the world, kamu harus minum obat dan istirahat dulu untuk menyesuaikan tubuh kamu di tempat ekstrim ini! Nah kamu udah minum obat belum?" ucapnya.

Kepala saya makin pusing hebat. Saya membanting helm saya ke aspal.

"BURUAN BALIK, MINUM OBAT DAN TIDUR, DARI PADA MATI KONYOL." Si pramugari Tamil itu melotot dan teriak pake kepslok jebol.

Saya tersentak, dan buru-buru ngambil helm dan ngegas motor balik ke kota. Dengan pelan-pelan menjaga keseimbangan scooter ajaib dan penuh kehati-hatian, susah payah saya akhirnya berhasil kembali ke hostel dengan utuh.

"You come back?" Sapa si pemilik hostel.

Saya gak menjawab. Melihat muka saya pucat, seorang backpacker cewek menawarkan saya obat, "Hey, you are not looking good. Please take these pills, this helped me when the first time coming here."

"Thank you!" Jawabku. Masih berasa linglung bego.

Acara sore sampai malam saya habiskan dengan menggigil demam di atas bunk bed, saya menangis sejadi-jadinya karena kesakitan. Di sini saya merasa sedih dan kangen dengan orang-orang yang saya cintai: nyokap di kampung, keluarga saya di Iran, temen-temen di kantor (yang sering nraktir makan), pacar khayalan, dkk."

"It's normal thing happens here, bro, just take a rest, you'll be better tomorrow." ucap si owner hostel sambil ngelus kening saya #eaaaa.

---
Moral of Story:
1. Saat traveling, selalu ikuti instruksi/travel warning dari pemerintah atau warga, ojo sak karepmu dewe! Jika kalian ada kesempatan ke Ladakh, Nepal, atau kemana pun yang tinggi/ekstrim dan ada anjuran untuk istirahat atau minum obat dulu, just do it!

2. Meski keesokan paginya saya merasa lebih baik, sampai saat ini saya masih merasa sebagai Traveler Gagal karena tidak berhasil menaklukkan Khardung La dengan scooter.

"It's okay to be a looser, YANG PENTING GAK MATI KONYOL!" Diantara suara jangkrik di luar jendela hostel, kembali suara si pramugari Tamil sayup-sayup menggema di gendang telinga saya. Biarpun nyebelin, tapi ada benernya juga.

---
Saya masih punya rencana suatu hari untuk menaklukkan Khardung La dengan scooter, ada yang mau ikut? (Komen di bawah kalo ada yang tertarik!) :)