Friday, June 14, 2013

Rumah Pagupon

Entah kenapa perasaan saya mulai campur aduk ketika akan memasuki rumah Yogi. Hati saya tambah gak keruan ketika Yogi mengantar kami (Saya dan Agista) menuju kamar yang akan kami inapi. 

"Oke, lewat sini." Ucap Yogi sambil menaiki tangga menuju lantai dua.

Bukan. Rumah tersebut berlantai dua bukan karena mewah bak apartement, tetapi karena lahannya yang terlalu sempit sehingga berlantai dua. Dari jauh rumah tersebut mungkin lebih mirip "pagupon" --semacam rumah kayu bertingkat yang biasa kita kenal sebagai kandang burung dara. Hal ini kian dipertegas dengan keadaan lantai bawah rumah tersebut yang berfungsi sebagai mebel --penuh tumpukan kayu serta aneka furniture. 

Senada dengan apa yang ada dalam pikiran saya, Agista pun berbisik, "Ini rumah, apa pagupon?" :)

---------------------------------


3 hari sebelumnya...

Sudah jadi kebiasaan saya ketika ingin jalan-jalan ke suatu tempat, pasti saya akan mencari tumpangan. Lebih tepatnya tumpangan gratis. Opsi ini baru akan saya ganti dengan yang "berbayar" jika sudah mentok gak ada yang bisa ditumpangi. #BUSSUK

Ritual mencari tumpangan gratis itu biasanya saya mulai dengan menentukan kota tujuan yang akan saya kunjungi dan selanjutnya saya akan ngubek-ubek daftar kontak --yang saya punya-- yang tempat tinggalnya berada di kota yang akan saya tuju.

Ketika itu saya pengen sekali mengunjungi Gang Dolly, Surabaya. Nista memang tujuan saya waktu itu. Tapi yah namanya juga orang penasaran, mau gimana lagi? Hihihihi.

Malam itu. Dengan teliti saya membuka buku daftar kontak teman. Sudah lama buku itu tersimpan ditumpukan buku-buku jadul penuh sarang spiderman

Dari list sekian banyak teman lama yang rumahnya Surabaya, saya menemukan nama itu. Yogi. Teman seperjuangan saya ketika merantau dan mengajar di Gresik. Mengajar tari balet. Behahaha!

"Halo, Yog. Piye kabare?" Sapa saya lewat sms.

Tak berapa lama Yogi pun membalas, "Kabarku apik. Piye kabarmu? Tumben sms, kon?"

#HAKJLEB!!!

Kami sudah sekitar 4 tahun gak bertemu dan sekarang secara ujug-ujug alias gak-ada-angin-gak-ada-ujan saya menghubinginya hanya karena pengen dapet tumpangan gratis. Oh, saya memang teman yang biadap. :")

Setelah ritual basa-bin-basi via sms, akhirnya Si Yogi mau menampung teman (biadab)-nya ini selama di Surabaya. Yogi emang baik, kok. :")


----------------------


Hari yang ditetapkan telah tiba...

Setelah melaksanakan investigasi nista di Gang Dolly. Pun kami akhirnya menginap di rumah Yogi.

"Oke, kalian tidur disini, ya." Ucap Yogi sambil membuka pintu kamar yang terbuat dari triplek tipis. Setipis bibirkuh. :*

"Lha, Kamu tidur dimana?" Tanya saya.

"Oh, aku tidur di luar saja." Dia menambahkan, "Aku masih banyak tugas, nih. Udah kalian tidur aja dulu."

By the way, kamar Yogi yang kami tiduri itu berukuran hanya sekitar 2 X 1,5  meter. Kamar itu gak cuma menampung saya dan Agista saja. Ada makhluk-makhluk lain seperti: ikan koki di dalem akuarium, seekor guana, serta kucing persia. Kesemuanya adalah binatang peliharaan kakaknya Yogi. 

Disini kamar sama kandang gak ada bedanya. Jadi satu malahan. Hihihi.

Perasaanku jadi serba salah ketika Yogi dan kakaknya terpaksa meringkuk di ruang tivi --yang kondisinya sama sempitnya dengan kamar kami. Yogi asik ngerjain (katanya) tugas kuliah sementara kakaknya malah asik main pe-es.

Ketika sedang hening-heningnya. Tiba-tiba ada suara muncul dari ruang sebelah...

"Uhukk!"

"Eh, siapa tuh, cong?" Saya berbisik ke Agista.

"...."
 
Ternyata kamar ortu yogi berada tepat di samping kamar yang kami tiduri. FYI, jarak kamar kami dengan kamar mereka hanya dibatasi kayu triplek setebal 1 sentimeter-an dengan sedikit celah yang bisa diintip. Bisa bayangin dong perasaan kami waktu itu? :|

Begitulah. Semua ruangan di rumah ini begitu sempit, sesak dan berjubel. Sebuah perjuangan yang patut gue saluti dari keluarga ini.

Bangun pagi, kami mulai packing untuk lanjutin jalan-jalan-binal-kami. Langkah pun kian berat ketika di depan kamar telah berjejer sarapan yang tersaji dengan keji. Sarapan itu menurut saya "terlalu mewah" jika melihat keadaan mereka. 

"Hayo, ndang di maem. Jangan di lihat saja. Ntar keburu dingin." Suara lembut plus senyum nyokapnya Yogi begitu bersahabat. Membuat kami sungkan untuk menolak sarapan itu. Halah!

Setelah sarapan kami pun pamit kepada Yogi, bokap serta nyokap. Senyum mereka begitu ikhlas dan tanpa dibuat-buat. Biar sesulit apapun keadaan, mereka tetap rela menjamu kami bak tamu agung. In fact, kami adalah tamu mbambung. Mereka contoh keluarga yang sederhana sekaligus bersahaja di tengah hiruk pikuk Surabaya. 

Mereka. Keluarga Pagupon. :))

BBB (Bobo Bareng bunglon)

Ini lagi pura-pura tidur. Muka mesum. Makanya tutupin.
Di balik triplek biru ini adalah kamar bokap & nyokapnya si yogi.
Perhatikan pintu triplek-nya yang sedikit kebuka. Hihihi.


Pemandangan dari atas rumah pagupon

Keluarga Pagupon. :)